Beranda | Artikel
Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 10)
14 jam lalu

Penutup

Pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah dijelaskan hal-hal yang berkaitan tentang jual beli kredit. Mulai dari definisi sampai tentang syarat-syarat dalam jual beli kredit. Sebagaimana yang telah diketahui, dalam jual beli kredit terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang boleh atau tidaknya. Sehingga para ulama yang membolehkan sangat ketat dalam menetapkan persyaratan jual beli kredit.

Karenanya, hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan kehati-hatian pada jual beli kredit. Tidak bisa sembarangan dalam melakukan transaksi jual beli kredit. Syarat, baik dalam bentuk ‘iwadh (nilai dan barang) maupun ‘ajal (batas waktu atau jatuh tempo), harus terpenuhi. Jika tidak, maka transaksi itu tidak sah dan tidak ada keberkahan pada transaksi tersebut.

Sebagai pengingat, bahwa jual beli kredit sangat erat kaitannya dengan utang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung (tertahan) pada utangnya, sampai utangnya lunas.” (HR. At-Tirmidzi dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)

Bisa dikatakan, tidak ada bentuk kredit dalam transaksi jual beli pada masa dahulu. Jual beli pada masa dulu adalah dalam bentuk barter barang dengan barang, atau uang dengan barang. Sedangkan utang hanya dilakukan jika memang benar-benar tidak mampu dan membutuhkan. Sampai datanglah masanya kartu kredit pada era tahun 90-an, yang pertama kali muncul di Amerika. Sehingga bayar dengan cara ditunda alias “utang” (kemudian barang diberikan di awal), menjadi hal yang sangat disenangi.

Saat ini, kiranya transaksi jual beli kredit yang berbasis kartu atau yang sejenisnya sudah mulai menurun dan diganti dengan transaksi yang lebih praktis dan mudah. Berbasis aplikasi yang hanya bermodalkan sedikit data pribadi dan sentuhan-sentuhan dari jari jemari. Dengan penamaan yang dibawa ke arah “modern”, disebut dengan “paylater”, yang dapat diartikan dengan “bayar nanti”. Sebuah istilah dan kata yang mudah untuk diterima oleh semua kalangan.

“Paylater” bisa dikatakan berhasil untuk membuat orang-orang yang tidak memiliki apapun menjadi memiliki segalanya. Hebatnya, sering kali tidak ada keinginan untuk membeli suatu barang. Disebabkan istilah manis itu, akhirnya keinginan-keinginan yang sifatnya tersirat pun terpaksa harus dibeli. Tenang saja, nanti bisa dibayar di akhir.

Bahkan seringkali ketakwaan harus tergadaikan dengan hal itu. Keinginan sesaat yang ingin dimiliki secara cepat, gengsi yang begitu tinggi yang tidak ingin tersaingi, memaksa untuk menggadaikan ketakwaan yang dimiliki. Demikianlah realita yang ada di saat ini.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita bahwa suatu hari, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu melihat daging yang dibawa oleh Jabir. ‘Umar berkata, “Apa ini, wahai Jabir?” Jabir pun berkata, “Aku sangat ingin daging, maka aku pun membelinya.” Maka ‘Umar berkata,

أَوَ كُلَّمَا اِشْتَهَيْتَ اِشْتَرَيْتَ ؟

“Apakah setiap yang engkau inginkan kemudian engkau membelinya?.

Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bentuknya pengingkaran, artinya tidak semua yang engkau inginkan harus dibeli. Maka benarlah ucapan tersebut jika ditarik pada kondisi saat ini. Tentu tidak semua yang diinginkan harus terbeli. Terlebih jika kemampuan itu belum ada.

Ketika kemampuan dalam membeli suatu barang belum ada, kemudian seseorang memaksakan untuk memperolehnya di atas dari kemampuannya, maka ini akan mempengaruhi dirinya, ia akan bergaya atau berlagak di atas kemampuannya. Lebih-lebih lagi yang ia beli bersifat kredit atau utang, tentunya akan lebih berbahaya lagi. Ia akan terdorong untuk membeli sesuatu yang sifatnya implusif dan terpaksa untuk bergaya di atas kemampuannya dan dipaksa untuk sampai keuangannya pada posisi itu.

Dari sini dapat diketahui, dalam transaksi jual beli kredit sangat banyak hal-hal negatif yang dapat diperoleh. Di antaranya juga adalah seseorang akan menjadi terbiasa berutang. Karena pintu-pintu utang saat ini sangatlah banyak. Karena bunga atau riba yang menggiurkan, membuat pihak penyedia layanan “utang” pun terus menerus menyodorkan kata-kata pemanis: “beli saja dulu, bayarnya nanti gampang.”

Seperti itulah kalimat yang sering kali dipaparkan, yang jika di belakang kalimat itu akan berubah menjadi “daripada uang mandek (tidak berputar), lebih baik dipinjamkan saja agar bisa mengambil keuntungan dari bunganya.” Sehingga menjamurlah aplikasi-aplikasi yang bentuknya pinjaman uang, atau bahasa trendnya adalah “Pinjol” (pinjaman online).

Tidakkah cukup sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendapati seseorang yang wafat dalam keadaan belum membayar utang?

صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

“Salatkanlah teman kalian.” (HR. Bukhari)

Tidakkah cukup sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ingin menyalati orang yang masih memiliki utang?

Bahkan orang yang mati syahid berjihad di jalan Allah, tidak diampuni dosa-dosanya selama masih punya utang. Dari Abu Qotadah, beliau bercerita,

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ أَنَّ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُكَفِّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَيُكَفِّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلَّا الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ قَالَ لِي ذَلِكَ

“Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah berdiri di hadapan mereka dan mengatakan bahwa jihad di jalan Allah dan beriman kepada Allah adalah sebaik-baik amalan. Lalu seorang laki-laki berdiri dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjawab, “Benar. Jika engkau terbunuh di jalan Allah sementara engkau sabar, mengharap palaha, berani, dan tidak lari.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang kamu katakan tadi?” Ia menjawab, “Bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar, jika engkau bersabar, mengharap pahala dan tidak lari (dari medan perang), kecuali utang, karena Jibril memberitahu hal itu padaku.”

Oleh karena itu, seorang muslim yang bertakwa hendaknya berhati-hati tentang masalah utang, terlebih dalam masalah transaksi jual beli kredit. Yang terbaik adalah menahan untuk tidak membeli sampai ia mampu untuk membelinya. Tidak memaksakan diri dengan cara berutang, terlebih jika pada utang atau kredit tersebut terdapat bunga.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

[Selesai]

Kembali ke bagian 9 Mulai dari bagian 1

***

Depok, 18 Muharam 1447/ 13 Juli 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/107604-fikih-jual-beli-kredit-bag-10.html